Langit Senja di Ujung Hari
mengisahkan perjalanan batin seorang perempuan yang kembali menemukan dirinya setelah bertahun-tahun hidup di kota besar. Kisah ini tentang pulang, tentang cinta yang sederhana, dan tentang bagaimana kebahagiaan sejati seringkali ada di tempat yang paling tak terduga.
Langit malam itu dipenuhi bintang-bintang yang berkerlap-kerlip di atas atap rumah sederhana di ujung desa. Renata duduk termenung di teras depan rumah, memandangi ponselnya yang sepi dari pesan. Putrinya, Vira, belum mengirim kabar sejak pertengkaran terakhir mereka. Sebagai ibu, Renata paham bahwa waktu akan memperbaiki banyak hal, tapi di dalam hatinya, ada kekosongan yang hanya bisa diisi dengan kehadiran anaknya. Dunia mereka seolah terpisah, satu diisi dengan kenangan masa lalu, satu lagi dengan mimpi-mimpi masa depan. Dua dunia yang pernah menyatu, kini terpisah oleh jarak dan keheningan. Akankah cinta seorang ibu mampu menjembatani dua dunia yang berbeda ini?
Hari itu langit di Desa Soka berselimutkan warna jingga yang begitu memikat. Senja di desa itu selalu istimewa—seolah setiap penghuni bumi diminta untuk berhenti sejenak dan menikmati keindahannya. Di jalan setapak yang mengarah ke bukit, seorang gadis muda dengan langkah pelan menyusuri jalur yang dulu akrab di kakinya. Angin sore menerpa wajahnya, membawa kenangan yang lama terpendam.
Siska baru saja kembali dari kota setelah bertahun-tahun merantau. Kehidupan di kota besar telah memanggilnya pergi jauh dari desa kelahirannya, dengan janji-janji akan kesuksesan dan mimpi yang megah. Namun, di tengah hiruk-pikuknya kota, ada sesuatu yang selalu mengganjal di hati Siska. Sesuatu yang tak bisa ditemukan di balik gedung-gedung tinggi dan lampu-lampu neon yang tak pernah padam.
“Bagaimana kabarnya sekarang, ya?” gumamnya pelan saat ia mendekati sebuah rumah kayu kecil di tepi bukit, tempat ia menghabiskan masa kecilnya.
Rumah itu tampak sepi, tapi hangat. Jendela-jendela yang dulu selalu terbuka kini tertutup rapat, dan taman di depannya dipenuhi rumput liar. Namun, di antara semak-semak yang mulai merajalela, Siska melihat sosok seseorang yang sedang menata bunga-bunga di kebun kecil yang hampir terlupakan.
“Bunda,” panggil Siska, dengan suara bergetar.
Wanita yang sedang merapikan bunga itu menoleh. Mata mereka bertemu, dan seketika itu, waktu seperti berhenti. Bunda Siska, wanita yang wajahnya dihiasi kerutan kecil akibat waktu, meletakkan sekop kecilnya dan mendekati Siska dengan langkah pelan namun mantap.
“Kamu pulang,” ucap Bunda lirih, sambil merentangkan tangannya.
Siska segera berlari dan memeluk ibunya. Air mata yang ia tahan sepanjang perjalanan akhirnya mengalir tanpa bisa ia cegah. Semua kenangan, kerinduan, rasa bersalah, dan segala emosi yang pernah ia simpan seolah tumpah di dalam pelukan itu.
“Aku rindu, Bunda,” isak Siska. “Aku rindu rumah, rindu senja ini, dan… rindu semuanya.”
Bunda hanya mengusap lembut punggung Siska, tanpa berkata apa-apa. Ia tahu, di dalam hati putrinya, ada banyak hal yang ingin diceritakan. Namun, ia juga tahu bahwa semua itu akan terungkap pada waktunya. Yang terpenting saat ini adalah, putrinya telah pulang.
Keesokan harinya, Siska duduk di bawah pohon mangga besar di belakang rumah, pohon yang sejak kecil menjadi tempat favoritnya untuk bersembunyi, bermimpi, dan merenung. Dulu, ia sering duduk di sana sambil memandangi awan-awan yang bergerak lambat di langit biru. Pohon itu tak berubah banyak, hanya lebih besar, dengan dahan-dahan yang semakin rimbun.
Siska meraih sebuah mangga yang jatuh tak jauh dari tempatnya duduk. Aromanya yang manis mengingatkannya pada masa kecilnya. Saat itu, ia dan teman-temannya sering berlomba memanjat pohon ini untuk mendapatkan mangga yang paling matang. Ia tersenyum mengingat betapa polosnya mereka dulu, tanpa beban, hanya ada tawa dan keceriaan.
Di tengah lamunannya, suara langkah kaki terdengar mendekat. Siska menoleh dan melihat Dimas, sahabat masa kecilnya, yang kini telah tumbuh menjadi pria dewasa dengan senyum yang masih sama hangatnya.
“Hei, apa kabar?” sapa Dimas sambil berjalan mendekat. Wajahnya tampak senang melihat Siska di sana, seperti membawa kembali potongan-potongan memori yang pernah hilang.
Siska tersenyum lebar. “Dimas! Lama nggak ketemu. Aku baik, kamu sendiri?”
Dimas duduk di sampingnya, membiarkan keheningan sejenak mengisi ruang di antara mereka. Mereka tidak butuh banyak kata untuk merasa nyaman satu sama lain. Itulah yang selalu membuat hubungan mereka istimewa sejak kecil.
“Desa ini nggak banyak berubah, ya,” kata Siska pelan, menatap ke arah sawah yang membentang luas di kejauhan. “Tapi aku merasa seperti orang asing di rumah sendiri.”
Dimas menatapnya, lalu berkata, “Kamu yang pergi terlalu lama, Sis. Desa ini selalu menunggumu pulang.”
Siska tertawa kecil, meski di balik tawanya ada rasa bersalah yang tak bisa ia sembunyikan. Selama bertahun-tahun ia mengejar mimpinya di kota, meninggalkan semua yang pernah ia cintai di belakang. Ia tahu, kepergiannya saat itu membuat banyak orang kecewa, terutama ibunya. Tapi ia merasa harus pergi—harus mencari sesuatu yang lebih besar, meskipun kini ia tak yakin apakah semua itu benar-benar sepadan.
Hari-hari berikutnya, Siska mulai kembali terbiasa dengan rutinitas desa. Ia membantu Bunda di kebun, bercengkerama dengan para tetangga, dan sesekali berjalan-jalan dengan Dimas ke bukit yang menjadi favorit mereka dulu. Namun, di setiap senyuman dan kebersamaan itu, ada pertanyaan yang terus menghantuinya.
Apa sebenarnya yang ia cari?
Di kota, ia bekerja di sebuah perusahaan besar, mendapatkan gaji yang baik, hidup di apartemen modern, dan memiliki kebebasan yang dulu hanya bisa ia impikan. Tapi di balik semua itu, ia selalu merasa ada yang kurang—seperti ada ruang kosong di hatinya yang tak bisa diisi oleh hal-hal material.
Satu sore, ketika matahari mulai terbenam dan langit kembali dipenuhi semburat warna senja yang memukau, Siska duduk di teras bersama Bunda. Mereka hanya duduk diam, menikmati pemandangan tanpa berkata apa-apa. Namun, Bunda sepertinya bisa merasakan keresahan di hati putrinya.
“Kamu rindu sesuatu yang belum kamu temukan, ya?” tanya Bunda, memecah keheningan.
Siska menoleh, terkejut dengan ketepatan perkataan ibunya. Ia tak pernah benar-benar membicarakan perasaannya, tapi seperti biasa, Bunda selalu tahu. Siska mengangguk pelan.
“Di kota, semuanya serba cepat. Tapi di sini… rasanya semuanya lebih tenang. Aku nggak tahu apa yang harus aku pilih, Bunda,” kata Siska akhirnya.
Bunda tersenyum lembut, lalu meraih tangan Siska dan menggenggamnya erat. “Kamu tahu, Nak, hidup ini bukan tentang seberapa cepat kita berlari, tapi tentang seberapa dalam kita bisa merasakan setiap langkah. Jika hatimu merasa tenang di sini, mungkin ini tempatmu.”
Siska terdiam, merenungi kata-kata itu. Selama ini, ia merasa hidupnya selalu tentang mengejar sesuatu—entah itu karier, pengakuan, atau mimpi-mimpi besar yang ia bangun sejak kecil. Tapi di desa ini, di tempat di mana senja selalu hadir dengan keindahan yang sama setiap harinya, ia mulai mempertanyakan apakah semua itu benar-benar yang ia inginkan.
Semakin lama Siska tinggal di desa, semakin ia merasa dekat dengan hatinya sendiri. Ia mulai menyadari bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang selalu harus dikejar, melainkan sesuatu yang bisa ditemukan di tempat yang paling sederhana. Desa ini, dengan segala kesederhanaannya, memberikan kedamaian yang sudah lama ia cari.
Namun, hidup memang tak pernah sederhana. Di tengah kebahagiaan yang mulai ia temukan kembali, tawaran dari kantornya datang. Sebuah promosi besar yang akan membawanya ke luar negeri—impian yang selama ini ia kejar.
Siska bimbang. Tawaran itu datang pada saat yang salah, atau mungkin pada saat yang tepat, tergantung dari sudut mana ia melihatnya. Ia tahu, jika ia menerima tawaran itu, ia harus kembali ke kota, meninggalkan semua yang telah ia bangun kembali di desa ini—hubungan dengan Bunda, persahabatannya dengan Dimas, dan ketenangan yang baru saja ia rasakan.
Malam itu, Siska duduk di bawah pohon mangga lagi. Di tangannya, ia memegang surat tawaran dari kantornya. Ia menatap langit yang mulai gelap, lalu menutup matanya.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya dalam hati, berharap angin malam akan memberikan jawaban.
Dan seolah menjawab, angin yang lembut menerpa wajahnya, membawa aroma mangga yang manis. Siska membuka matanya, dan di sana, di tengah kegelapan yang mulai turun, ia melihat Dimas berdiri di tepi halaman, menatapnya dengan senyum kecil di wajahnya.
“Jadi, kamu sudah memutuskan?” tanyanya pelan, seolah tahu apa yang sedang Siska pikirkan.
Siska terdiam sejenak, lalu tersenyum. Mungkin jawabannya tak datang dari angin, tapi dari hatinya sendiri. Dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Dari tempat ini, yang telah membantunya menemukan kembali siapa dirinya.
“Iya, aku sudah memutuskan,” jawabnya mantap.
Hari itu, Siska berdiri di tepi bukit, memandangi langit senja yang selalu memukau hatinya. Di sampingnya, Bunda dan Dimas berdiri, menemaninya seperti dulu. Namun, kali ini, ada perasaan baru di hati Siska—perasaan damai.
Ia tahu bahwa hidup adalah tentang pilihan, dan setiap pilihan membawa risiko. Tapi, ia juga tahu bahwa tak ada pilihan yang benar-benar salah, selama ia mengikuti kata hatinya.
Siska menatap langit yang mulai berubah warna, lalu tersenyum. Entah apa yang akan terjadi di masa depan, tapi untuk saat ini, ia merasa benar-benar utuh.
Desa ini, dengan segala kesederhanaannya, telah mengajarkannya satu hal yang tak akan ia lupakan: Kebahagiaan sejati bukanlah tentang seberapa jauh kita pergi, tapi tentang seberapa dalam kita bisa merasakan keindahan yang ada di sekeliling kita.
Dan di sinilah, di bawah langit senja Desa Soka, Siska akhirnya menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari.
Senja kembali datang, menghiasi langit Desa Soka dengan semburat warna yang sama indahnya seperti dulu. Kali ini, Siska duduk di teras rumahnya, memandangi cakrawala yang seolah menyimpan semua jawabannya. Di sampingnya, Bunda tersenyum lembut, sementara Dimas berdiri tak jauh dengan pandangan yang teduh. Perjalanan Siska di desa ini membawanya pada satu kesimpulan: kebahagiaan bukan tentang seberapa jauh kita pergi, tapi tentang seberapa dalam kita merasakan setiap langkah. Dengan senyum di bibirnya, Siska kini tahu bahwa pilihan yang ia buat—meski berat—telah membawanya kembali ke tempat di mana ia benar-benar merasa utuh. Di bawah langit senja yang tak pernah berubah, Siska menemukan rumahnya, bukan di satu tempat tertentu, tapi di hati orang-orang yang ia cintai.
“Langit Senja di Ujung Hari”
adalah sebuah perjalanan tentang pulang, baik secara fisik maupun emosional. Siska, yang selama bertahun-tahun mengejar kesuksesan di kota, kembali ke desa dengan hati yang penuh keraguan. Dalam keheningan desa dan hangatnya cinta dari orang-orang terdekat, ia menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu ditemukan di tempat-tempat yang jauh atau dalam pencapaian besar. Kadang, kebahagiaan justru ada di tempat yang paling sederhana, di antara orang-orang yang mencintai kita tanpa syarat. Novel ini mengajarkan bahwa pulang tidak selalu berarti kembali ke rumah fisik, tetapi kembali kepada hati kita sendiri, di mana kedamaian sejati berada.