Seberkas Cahaya di Matanya
Novel ini mengajarkan bahwa menjadi orang tua bukan tentang mengendalikan setiap aspek kehidupan anak, melainkan tentang memberikan mereka ruang untuk tumbuh sambil memastikan mereka merasa dicintai dan didukung. Kehadiran emosional, mendengarkan dengan tulus, dan kesabaran adalah kunci dalam membangun hubungan yang sehat dengan anak, terutama ketika mereka memasuki masa remaja yang penuh tantangan.
Hujan deras mengguyur kota malam itu. Lantunan rintik hujan di luar jendela menemani Nina yang duduk terdiam di sudut ruang tamu. Di sampingnya, sebuah album foto terbuka—gambar-gambar masa lalu yang penuh dengan kebahagiaan kini terasa begitu jauh. Dalam foto-foto itu, ada senyum bahagia anak laki-lakinya, Rangga, yang kini semakin menjauh darinya.
Nina mengingat masa kecil Rangga, ketika ia adalah anak yang ceria, selalu ingin tahu, dan selalu ingin bercerita tentang apa pun yang terjadi di sekolah. Namun, sekarang, Rangga menjadi sosok remaja yang lebih sering menyendiri dan tidak ingin berbagi apa pun dengan ibunya. Sebuah jarak yang tidak kasat mata tumbuh di antara mereka, dan Nina tidak tahu bagaimana cara menjangkau anaknya lagi.
“Apakah aku sudah terlalu keras? Apakah aku sudah gagal menjadi ibu?” Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengisi pikirannya, menghantui setiap langkah yang ia ambil sebagai orang tua. Tetapi malam itu, di tengah rasa bingung dan lelah, Nina bertekad untuk memahami bagaimana cara membangun kembali hubungan yang hilang dengan anak satu-satunya. Ia ingin menemukan kembali “seberkas cahaya” yang dulu selalu ada di mata Rangga.
Nina selalu merasa menjadi ibu yang sempurna. Ia mendidik Rangga dengan penuh cinta, memberikan yang terbaik dalam setiap aspek kehidupannya. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, Rangga berubah. Dari anak yang ceria, dia tumbuh menjadi remaja pendiam, yang lebih suka menghabiskan waktu sendirian di kamar daripada bersama keluarganya.
Hari itu, Nina mencoba memulai percakapan dengan Rangga saat mereka sedang sarapan. “Gimana tadi di sekolah, Nak?” tanyanya dengan senyum kecil, berusaha mencairkan suasana.
Rangga mengangkat bahu tanpa melihat ke arah ibunya. “Biasa aja, Bu,” jawabnya singkat sambil terus menatap layar ponselnya.
Nina merasakan jarak yang kian lebar di antara mereka, tetapi ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia mencoba mengingat kapan tepatnya semuanya mulai berubah. Ketika Rangga kecil, mereka biasa berbicara tentang apa saja—tentang buku yang mereka baca, tentang permainan di halaman, bahkan tentang mimpi-mimpi yang Rangga miliki. Namun, kini setiap percakapan terasa seperti sebuah tantangan berat.
“Mungkin dia butuh ruang,” pikir Nina. Tetapi di dalam hatinya, ia merasa takut. Takut kehilangan anaknya yang dulu selalu dekat dengannya.
Malam itu, setelah Rangga masuk ke kamarnya, Nina duduk di ruang tamu, menatap bayangannya di cermin dinding. Apakah selama ini ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya? Atau mungkin terlalu keras dalam menegakkan disiplin? Nina tidak tahu jawabannya, tetapi ia merasa ada sesuatu yang salah dalam caranya mendidik Rangga.
Dalam benak Nina, ia kembali memutar ulang semua momen kebersamaan mereka. Setiap kali Rangga melakukan kesalahan, ia selalu berusaha memberinya nasihat, memberitahunya apa yang benar dan salah. Namun, sekarang ia menyadari, mungkin ia lebih banyak berbicara daripada mendengarkan.
Ketika anaknya semakin menjauh, Nina mulai bertanya-tanya, “Apakah Rangga merasa bahwa aku tidak pernah benar-benar mendengarkannya?” Sebuah pertanyaan yang sederhana, tetapi cukup menyakitkan.
Keesokan harinya, Nina mencoba cara yang berbeda. Setelah makan malam, ia tidak langsung memberikan nasihat atau mengajukan pertanyaan. Ia hanya duduk di samping Rangga, menonton televisi bersama. Tanpa disadari, jarak di antara mereka mulai terasa sedikit lebih dekat—bukan karena kata-kata, tetapi karena kehadiran.
Suatu hari, Nina mengunjungi ibunya untuk meminta nasihat. Di meja makan sederhana di rumah nenek Rangga, mereka berbicara dari hati ke hati. Ibunya adalah seorang wanita tua yang bijaksana, dan meskipun zaman telah berubah, kebijaksanaan itu tetap relevan.
“Nak, menjadi ibu bukan soal mengendalikan atau menuntun anak setiap saat. Kadang, kita harus membiarkan mereka berjalan sendiri, menemukan jalan mereka,” kata sang ibu dengan lembut sambil memandang Nina.
Nina terdiam mendengar nasihat itu. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa menjadi ibu berarti memastikan semua hal berjalan sesuai rencana—membuat hidup Rangga teratur, aman, dan sempurna. Tapi, mungkin di situlah letak kesalahannya. Ia terlalu fokus pada bagaimana mengarahkan anaknya, tanpa memberi Rangga ruang untuk menjadi dirinya sendiri.
“Jadi, aku harus bagaimana?” tanya Nina.
“Berikan dia ruang, tapi tetap ada ketika dia membutuhkanmu. Jangan memaksakan percakapan, tapi pastikan dia tahu bahwa kamu siap mendengarkan kapan pun dia ingin bicara,” jawab ibunya dengan tenang.
Nasihat itu membuat Nina berpikir kembali tentang caranya mendidik Rangga. Ia menyadari bahwa menjadi ibu bukan hanya soal memberikan arahan, tapi juga tentang belajar membiarkan anaknya berkembang sesuai jalannya sendiri.
Malam itu, setelah pulang dari rumah ibunya, Nina mencoba cara baru dalam mendekati Rangga. Alih-alih mengajukan banyak pertanyaan, ia menunggu Rangga memulai percakapan terlebih dahulu. Mereka duduk bersama di ruang tamu, menonton film tanpa banyak bicara.
Lama-kelamaan, Rangga mulai berbicara, meskipun hanya tentang hal-hal kecil. “Bu, tadi di sekolah aku diminta buat presentasi,” katanya pelan, sambil terus menatap layar televisi.
Nina tersenyum. Itu bukan percakapan yang mendalam, tapi bagi Nina, itu adalah tanda bahwa Rangga mulai terbuka kembali. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak memberikan nasihat atau interupsi. Hanya mendengarkan.
Setiap kata yang keluar dari mulut Rangga malam itu menjadi berharga bagi Nina. Ia mulai menyadari bahwa komunikasi dengan anak bukan soal seberapa banyak yang kita bicarakan, tetapi seberapa baik kita mendengarkan. Rangga mulai merasa bahwa ibunya ada untuknya, bukan untuk mengontrol, tapi untuk mendukung.
Seiring berjalannya waktu, hubungan Nina dan Rangga perlahan-lahan membaik. Namun, bukan berarti tanpa hambatan. Ada hari-hari di mana Rangga kembali menarik diri, mengunci diri di kamarnya tanpa penjelasan. Pada hari-hari seperti itu, Nina merasa cemas, takut bahwa hubungan mereka akan kembali seperti semula.
Tetapi kali ini, Nina lebih sabar. Ia tidak memaksakan diri untuk langsung masuk ke dunia Rangga, melainkan menunggu momen yang tepat. Ia mengingat nasihat ibunya—beri dia ruang, tapi pastikan dia tahu kamu ada.
Suatu hari, ketika Nina sedang menyiapkan makan malam, Rangga tiba-tiba datang ke dapur. “Bu, aku boleh cerita sesuatu?” tanyanya dengan nada ragu.
Nina menoleh dengan senyum kecil. “Tentu, Nak. Ada apa?”
Rangga mulai bercerita tentang masalah yang ia hadapi di sekolah. Bukan masalah besar, tapi bagi seorang remaja seperti Rangga, itu cukup membuatnya stres. Nina mendengarkan dengan sabar, memberikan ruang bagi anaknya untuk mengekspresikan perasaannya tanpa merasa dihakimi.
Dalam beberapa bulan, hubungan antara Nina dan Rangga mengalami perubahan yang signifikan. Mereka mulai berbicara lebih sering, tidak hanya tentang masalah, tetapi juga tentang hal-hal kecil yang dulu hilang dari percakapan mereka.
Suatu sore, saat mereka sedang duduk di teras rumah, Rangga menatap langit yang mulai berubah warna menjadi jingga. “Bu, aku senang kita bisa ngobrol kayak dulu lagi,” katanya tiba-tiba.
Nina terkejut mendengar kata-kata itu, tapi ia hanya tersenyum dan menjawab, “Aku juga senang, Nak. Aku kangen masa-masa itu.”
Percakapan kecil itu menjadi momen penting bagi Nina, sebuah tanda bahwa mereka sudah mulai menemukan kembali hubungan yang sempat hilang. Meski perjalanan masih panjang, ia merasa lebih tenang karena tahu bahwa ia berada di jalur yang benar.
Nina menyadari bahwa sebagai orang tua, ia tidak bisa selalu mengendalikan segalanya. Ada hal-hal yang tidak bisa ia atur, seperti bagaimana Rangga akan menghadapi dunia luar, atau bagaimana ia akan bereaksi terhadap tantangan hidupnya sendiri. Tapi satu hal yang pasti, Nina bisa selalu ada untuk mendukung anaknya, tanpa memaksakan ekspektasi atau kontrol berlebihan.
Suatu malam, setelah hari yang panjang di sekolah, Rangga masuk ke kamar ibunya dan memberikan pelukan yang tak terduga. “Makasih ya, Bu, udah sabar sama aku,” ucapnya dengan lembut.
Pelukan itu adalah bentuk penerimaan, sebuah ungkapan bahwa Rangga merasa aman dan dicintai tanpa syarat.
Hubungan antara Nina dan Rangga tidak lagi seperti dulu, tapi kini mereka telah menemukan bentuk baru yang lebih matang dan sehat. Sebagai seorang ibu, Nina belajar bahwa tidak ada resep pasti dalam membesarkan anak. Yang terpenting adalah kehadiran, kesabaran, dan kesediaan untuk mendengarkan, bahkan ketika kata-kata sulit diungkapkan.
Melalui perjalanan ini, Nina menemukan bahwa cinta seorang ibu tidak perlu selalu ditunjukkan dengan nasihat atau arahan. Kadang, cinta itu hanya perlu hadir dalam keheningan, siap untuk mendukung ketika dibutuhkan.